Smartphone Murah Sebagai Solusi Brengsek Dari Penerapan Aplikasi Peduli Lindungi Yg Tidak Berpihak
Kok ya ada yang ngasih solusi beli smartphone murah ketika kaum rentan kesulitan memanfaatkan aplikasi pedulilindungi.
“Dapat cerita dari sepupu yang sehari-hari naik KRL dari Stasiun Citayam. Dia lihat ada bapak-bapak dipersulit buat masuk stasiun karena nggak punya smartphone untuk aplikasi pedulilindungi. Padahal sudah menunjukkan surat vaksin. Untungnya, si bapak-bapak itu akhirnya boleh masuk.”
Mawa Krena, jurnalis Project Multatuli, bercerita tentang kondisi penerapan aplikasi pedulilindungi yang “tidak berpihak”. Dia melanjutkan:
“Cerita lain dari sepupu, suatu hari dia lihat mbak-mbak nggak boleh masuk ke CCM karena nggak punya kuota untuk buka aplikasi pedulilindungi. Si mbak-mbak nangis, minta tethering wifi satpam, akhirnya bisa masuk mall.”
Kresna menutup dengan:
“Ini lho yang disebut kebijakan cuma buat orang-orang berprivilese. Buat kelas menengah ke atas mah smartphone plus kuotanya urusan sepele, tapi buat orang miskin, itu berat, bos. Herannya, pemerintah kayaknya nggak sadar yang begini-begini. Selalu ada bias dalam kebijakannya.”
Dan…
“Yang ber-privilese dipermudah dengan kebijakan pemerintah, cukup buka aplikasi dah bisa ke mana-mana, yang underprivilese harus repot ngurus surat keterangan ke RT/RW, bawa-bawa seritifikat vaksin ke mana-mana.”
Membaca ulang cerita Kresna di atas, kamu bakal menemukan hal-hal yang sepertinya remeh. Smartphone, misalnya, bahkan smartphone paling murah, lalu ada kuota, kemudian ada istilah tethering. Semuanya itu hal-hal biasa dalam kehidupan kamu yang lagi baca artikel ini.
Sekarang ini, smartphone murah bukan barang asing lagi. Kegunaannya bukan cuma untuk komunikasi lagi. Banyak dari kita yang bekerja lewat smartphone murah yang harganya di bawah sejutaan. Ada yang dibuat untuk mengetik, ada yang buat tethering. Biasa banget buat kita, buat saya yang menulis dan kamu yang baca artikel ini.
Namun sayangnya, istilah “biasa” itu malah membayangi banyak fakta menyedihkan, yang tidak kita sadari. Yang saya maksud adalah kemajuan zaman membuat berbagai hal menjadi tidak punya aspek keberpihakan yang merata. Hanya mereka dengan privilese yang bisa menikmatinya.
Betapa gampang membuka aplikasi pedulilindungi, lalu scan QR code, data vaksin akan muncul, kamu boleh masuk mall atau memanfaatkan transportasi umum. Iya, gampang buat kita, tapi tidak untuk mereka kaum rentan. Para orang tua yang tergopoh-gopoh mengikuti perkembangan zaman, bagi orang miskin yang membeli beras saja susah, apalagi smartphone murah.
Sudah begitu, ada yang tiba-tiba sok ngasih solusi: “Beli smartphone murah saja. kami di pelosok saja bisa beli. Masak di kota nggak bisa.” Orang seperti ini dijauhi saja. Dia tidak punya kepekaan akan masalah. Yang dibutuhkan adalah kemudahaan untuk semua orang, bukan barangnya.
Smartphone murah itu cuma barang. Mereka yang kesusahan memanfaatkan aplikasi pedulilindungi itu manusia. Dan manusia, ada beragam. Mereka, para orang tua, yang share loc lewat WhatsApp saja kesulitan, orang tua yang sampai sekarang tidak bisa ngirim voice chat. Solusi apa yang bisa kamu berikan untuk mereka?
Mengajari mereka menggunakan teknologi memang bisa dilakukan. Namun, jaminan apa yang bisa kamu berikan ketika para orang tua ini bepergian sendirian dan menjadi gugup ketika harus membuka smartphone murah dengan aplikasi pedulilindungi? Ada satpam yang baik hati menuntun, ada pula yang tidak peduli karena dia sudah lelah berurusan dengan ratusan pengunjung mall atau stasiun lainnya.
Lalu mereka, orang miskin. Bagi mereka, smartphone murah bisa jadi hanya impian, yang cuma bisa diselipkan di antara doa-doa malam. Kartu vaksin yang bisa mereka andalkan. Lalu, bagaimana kalau ternyata kartu vaksin dalam bentuk fisik ditolak? Kamu mau membelikan smartphone murah untuk mereka semua?
Sebetulnya, semua kerancuan di atas bisa diatasi dengan sebuah kemudahaan… kalau pemerintahnya becus bekerja. Solusinya gampang sekali, yaitu e-KTP. Namun, kita sama-sama tahu, bagian “e” di e-KTP itu fatamorgana. Nggak ada canggih-canggihnya.
Padahal, kalau e-KTP memang benar-benar ada unsur “elektronik”-nya, masalah begini nggak perlu jadi utas di Twitter. Satu kartu untuk semua keperluan. Lebih gampang mengajari orang tua gagap teknologi untuk tap KTP ke scanner ketimbang install pedulilindungi lalu menjelaskan apa itu QR code. Bagi orang miskin, yang didata dengan baik, tinggal tap KTP, nggak perlu “sok mengajari” mereka untuk beli smartphone murah.
Yah, sayangya, kita semua tahu kenapa e-KTP jadi nggak berguna, tapi kita memilih untuk bungkam karena takut UU ITE. Apalagi zaman sekarang, minta tolong ke Presiden saja diciduk polisi, apalagi protes….
Belum lagi soal kebocoran data lewat pedulilindungi. Ketika data Presiden bocor, bisa-bisanya rakyat diwanti-wanti untuk nggak dipakai berbuat jahat. Siapa juga yang berani pakai data Presiden buat daftar pinjol. Sudah diteror pinjol, digrebek BIN lagi.
Suram….
artikel: mojok.co